- Back to Home »
- Cerita Rakyat Jawa barat »
- Si Leungli
Nyai Bungsu Rarang hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah tiada.
Dia tinggal di rumah warisan yang kecil dan sudah rusak. Atapnya banyak
yang bocor. Dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah
bolong-bolong.
Nyai Bungsu Rarang mempunyai dua orang kakak. Kedua kakaknya hidup
berkecukupan. Rumah mereka besar. Mereka mempunyai sawah, kebun, dan
kolam. Tapi mereka tidak pernah merasa kasihan kepada adik mereka.
Kalaupun mereka memanggil Nyai Bungsu Rarang, bukan untuk memberi
makanan atau pakaian, melainkan meminta untuk melakukan pekerjaan rumah.
Upahnya pun seringkali tidak pantas.
Suatu hari Nyai Bungsu Rarang mencari ikan di sawah. Dia mendapat
seekor anak ikan mas. Anak ikan mas itu berwarna kuning keemasan. Entah
mengapa, Nyai Bungsu Rarang tidak berani memasak anak ikan itu. Dia
merasa kasihan. Akhirnya, anak ikan itu dimasukan ke kolam. Anak ikan
mas itu sangat gembira. Dia berenang ke sana kemari.
Sejak mempunyai anak ikan mas itu, Nyai Bungsu Rarang semakin giat
bekerja. Bila kakak-kakaknya menyuruh bekerja, upahnya selalu dibawa
pulang. Sepiring nasi itu dibagi dua. Nyai Bungsu Rarang bergembira bisa
makan bersama sahabatnya.
Anak ikan mas itu diberi nama Si Leungli. Bila Nyai Bungsu Rarang memberi makan, dia akan bersenandung,
Leungli… Leungli… cepat datang
Ini ada nasi matang
Meski tidak satu rantang
Tapi cukup bikin kenyang
Karena dibuat dengan rasa sayang
Seperti yang mengerti, Si Leungli keluar dari persembunyiannya. Dia
berenang ke sana kemari, melompat-lompat. Begitu Nyai Bungsu Rarang
menaburkan nasi, Si Leungli menyambutnya dengan salto. Nyai Bungsu
Rarang tertawa melihatnya.
Setiap hari Si Leungli dikasih makan dan diajak bercanda. Tidak
terasa badannya semakin besar memanjang. Sirip dan ekornya
panjang-panjang. Warna kuning keemasannya semakin terang, seperti
bercahaya. Indah sekali.
Kegembiraan Nyai Bungsu Rarang membuat kedua kakaknya curiga. Sekali waktu, mereka mengikuti Nyai Bungsu Rarang.
“Sepertinya ikan itu yang membuat si Bungsu Rarang selalu gembira,” kata kakak pertamanya.
“Mestinya ikan itu kita ambil, Kak,” kata kakak keduanya.
Besoknya, Nyai Bungsu Rarang disuruh berbelanja ke kampung tetangga.
Saat Nyai Bungsu Rarang pergi, kedua kakaknya menangkap Si Leungli.
Mereka menggoreng dan memakan ikan itu. Setelah tinggal kepala dan
durinya, ikan itu disimpan untuk diberikan kepada Nyai Bungsu Rarang.
Nyai Bungsu Rarang terkejut ketika dikasih upah nasi timbel dan ikan
goreng yang tinggal kepala dan durinya. Hatinya bergetar. Entah mengapa,
dia merasa sangat bersedih. Sambil berlari pulang airmatanya meleleh
tak tertahan.
Ketika sampai di kolam belakang rumahnya, dia langsung bersenandung
memanggil sahabatnya. Tapi Si Leungli tidak juga muncul. Nyai Bungsu
Rarang sekarang yakin Si Leungli sudah tidak ada. Dia pun meratap dengan
suara sedih.
“Duh… Leungli…
Hatiku sakit sekali
Aku sedih engkau mati
Tapi engkau selalu hidup di hati
Setelah itu, Nyai Bungsu Rarang mengubur kepala dan duri Si Leungli di halaman belakang.
Suatu hari Nyai Bungsu Rarang melihat ada sebatang pohon tumbuh di
atas kuburan Si Leungli. Pohon kecil itu disiram oleh Nyi Bungsu Rarang.
Maksudnya biar pohon itu merindangi kuburan Si Leungli. Setiap hari
pohon itu bertambah tinggi dan lebat. Akhirnya, pohon itu berbuah.
Anehnya, buah-buah itu berwarna kuning keemasan.
Sambil bernyanyi, Nyi Bungsu Rarang membersihkan kuburan Si Leungli.
Leungli… Leungli… pujaan hati
Tenanglah engkau di bumi
Engkau dan aku alamnya beda
Tapi kita sama-sama cinta
Selesai bernyanyi, buah-buahan itu berjatuhan. Nyai Bungsu Rarang
memungutinya. Dia heran karena buah-buahan itu berat seperti logam. Dia
membawa buah-buah emas itu ke kota untuk diperiksa di toko perhiasan.
Ternyata itu adalah emas murni yang harganya sangat mahal.
Nyai Bungsu Rarang akhirnya menjadi kaya. Dia senang membantu tetangga, orang miskin, dan siapapun yang perlu dibantu.
Kedua kakaknya mendengar kabar kekayaan adik mereka. Mereka datang
berkunjung dan menanyakan asal kekayaan adiknya. Tanpa curiga Nyai
Bungsu Rarang menceritakannya.
“Adikku Sayang, karena kedua kakakmu ini sangat rindu kepadamu, izinkanlah kami menginap,” kata kakak pertamanya.
Malamnya, ketika Nyai Bungsu Rarang sudah terlelap, kedua kakaknya
itu menyelinap ke kuburan Si Leungli. Mereka membawa wadah yang besar
untuk buah emas. Lalu mereka menyanyi.
Selesai mereka menyanyi, banyak buah berjatuhan. Namun, bukan buah
emas seperti biasanya. Buah yang berjatuhan seperti dilemparkan itu
adalah buah-buah berduri. Kedua kakak Nyai Bungsu Rarang menjerit-jerit.
Buah-buahan berduri itu melukai kepala, dahi, leher, dan punggung
mereka. Luka-luka itu terasa perih. Mereka pulang tanpa pamit karena
malu dengan kelakuan mereka.